SUNGAI ITU PANJANG SEKALI

 

Sungai itu panjang sekali

Esai oleh Ahmadun Yosi Herfanda*

 

Ketika kecil, menjelang magrib, aku sering memandangi sungai, yang melintas di samping rumah ibu, dari jendela. Kebetulah rumah ibu ada di tepi sungai, di Kampung Gadukan, Kaliwungu, Kendal. Kusebut rumah ibu, karena ketika itu aku sudah yatim sejak berusia lima tahun, dan sepeningal ayah, kami, tiga anaknya, lantas menyebutnya sebagai “rumah ibu”.

Dari jendela aku suka melamunkan sungai itu, bertanya dalam hati dari mana airnya yang bening dan berlimpah. Dalam imajinasiku yang kanak-kanak, sungai itu panjang sekali. Aku pernah menyusuri sampai ke muaranya di bibir Pantura, di Pantai Ngebum, dengan naik sepeda. Tapi, aku tak pernah tahu di mana hulunya, dan seberapa jauhnya. Kalau aku menyusurinya ke hulu, pasti takkan sampai-sampai.

Dari jendela, sambil memandangi permukaan airnya yang berkilau-kilau, aku juga membayangkan ikan-ikan yang hidup damai di dalamnya, pohon-pohon yang bermusik bersama angin, dan perahu nelayan yang tiap senja selalu bersandar di dekat rumah ibu pada masa kakekku dulu. Sayangnya, perahu nelayan tidak dapat lagi melintasi sungai itu, karena terhalang beberapa jembatan – salah satu jembatan yang membentang di depan rumah ibu.

Dari jendela aku suka mebayangkan, alangkah indahnya jika ada perahu nelayan, dengan layar setengah terbuka, bersandar di dekat rumah ibu, dan sesekali aku bisa ikut berlayar, menjaring ikan di laut luas, dan sesekali mampir di pantai, mencari kerang dan teripang. Sayangnya sungai itu telah terpotong-potong banyak jembatan, dan hanya sampan kecil, tanpa layar, yang dapat menyusurinya.

Dari jendela rumah ibu, ketika mulai dewasa, aku pun masih suka memandangi sungai itu, memandangi perempuan-perempuan kampung yang masih suka mandi dan mencuci apa saja di sungai itu. Dari jendela itu aku suka menyusun kembali kenangan masa kecil: memburu ikan gabus ketika musim kemarau, memancing ikan keting dan lele pada musim hujan, belajar berenang dan melompat dari atas jembatan pada musim banjir. Sebuah sungai yang telah memberiku banyak kenangan, cerita sekaligus kearifan.
                                             ***

 

Kenangan masa kecil rupanya dapat menjadi sumber inspirasi yang tiada habis-habisnya dalam menulis puisi, setidaknya menyumbangkan banyak metafor. Logika psikologisnya, pengalaman masa kecil akan mengendap ke memori bawah sadar seseorang. Ketika seseorang, dalam hal ini penyair, memerlukannya, maka memori bawah sadar akan menyumbang metafor-metafor ataupun citraan-citraan simbolik yang diperlukan. Karena pengalaman masa kecil tiap orang, tiap penyair, berbeda-beda, maka metafor-metafor puisi yang hadir dari kenangan masa kecil akan cenderung berbeda-beda dan unik, terasa baru dan segar.

Sangat banyak puisi saya yang disumbang oleh memori bawah sadar dari masa kecil di kota Kaliwungu, yang dikenal sebagai Kota Santri itu. Memori tentang “sungai yang panjang” di samping rumah ibu, dipengaruhi oleh “imaji religius” tentang perjalanan iman yang juga sangat panjang, sejak manusia berakal (baligh) hingga “hari perhitungan” kelak, menginspirasi lahirnya puisi sederhana saya, “Sungai Iman”, yang terkumpul dalam Sembahyang Rumputan (Bentang Budaya, 1996), sbb.

 

SUNGAI IMAN

 

Sungai itu panjang sekali
Mengalir ke dalam tubuhku
Dengan penuh cinta aku pun berlayar
Bersenandung dalam konser pohonan

 

Sungai itu dalam sekali
Berpusar dalam palung jiwaku
Dengan penuh gairah aku pun menyelam
Menangkap makna hidup pada mata ikan

 

Sungai itu panjang sekali
Di arusnya aku memburumu
Tak sampai-sampai

 

(Sembahyang Rumputan, halaman 17)

 

Metafor yang dipakai oleh penyair mengisyaratkan rasa empatinya pada habitat asal metafor tersebut. Jika puisi-puisi seorang penyair banyak diwarnai metafor ataupun simbol alam, itu isyarat bahwa sang penyair banyak berempati pada lingkungan alam. Pakar teori sastra Rene Wellek pernah mengatakan, simbol yang paling banyak digunakan penyair adalah simbol alam (natural symbol), yakni simbol yang berupa unsur-unsur atau benda-benda dari lingkungan alam.

Ranah pengamatan Wellek adalah puisi-puisi yang berkembang dalam sastra Barat, dan itu juga tampak dalam perpuisian kita. Kenyataannya, selain private symbol dan blank symbol (istilah dari Wellek), puisi-puisi Indonesia, sejak era pantun sampai era puisi kontemporer, juga banyak diwarnai oleh metafor-metafor dan simbol-simbol alam -– simbol yang menjanjikan keindahan dan kedalaman makna puisi.

Karena itu, seperti pesan Rendra, berempatilah pada lingkungan di sekitar kita, juga pada lingkungan alam, mikro kosmos dan makro kosmos, agar lingkungan bersedia menyumbang banyak inspirasi dan metafor untuk sajak-sajak yang kita tulis, sajak-sajak yang kita harapkan menyajikan keindahan dan kedalaman makna.

                              ***

 

Aku bersyukur lahir di kota santri Kaliwungu, Kendal, sehingga dapat mewarisi sikap dan kebiasaan religius. Banyak pengalaman masa kecil yang turut membangun sikap dan kebiasaan religius saya. Pagi belajar di sekolah negeri sampai SMA, sore belajar di sekolah madrasah ibtidaiyah sampai tamat, dan malam sehabis Maghrib belajar mangaji Alquran pada seorang ustad, dan alhamdulillah, sampai khatam.

Dari aspek pendidikan saya merasa mendapat lebih. Ilmu dunia dan ilmu akherat saya dapatkan semasa kecil hingga remaja. Dalam pergaulan dan mengakrabi lingkungan, juga mendapatkan lebih dari cukup. Pada malam terang bulan purnama, bersama kawan-kawan seusia, kami biasa bermain grobak sodor (go back to dor) di halaman rumah bude yang luas. Bosan dengan grobak sodor, kami bermain ular-ularan atau jamuran. Saat bermai jamuran inilah kami selalu melantunkan tembang “Ilir-ilir” Sunan Kalijaga.

Tembang “Ilir-ilir”, ditambah pengalaman berdeklamasi pada acara imtihan di madrasah ibtidaiyah, dan membaca puisi maulid Nabi di mushalla kampung, membangun sikap religius saya dalam menulis puisi. Puisi saya “Sembahyang Rumputan” (Sembahyang Rumputan, Bentang Budaya, 1996), renungannya, dam simbol-simbo alamnya (rumputan), terbawa di alam bawah sadar saya sejak kecil, dan baru berhasil saya tuliskan pada tahun 1992, ketika ada sayembara menulis puisi Yayasan Iqra Jakarta. Saya boleh berbangga, karena dewan jurinya tokoh-tokoh sastra terkemuka Indonesia – Sutardji Calzoum Bachri, H.B. Jassin, dan Abdul Hadi W.M – memilih puisi itu sebagai juara pertama:

 

SEMBAHYANG RUMPUTAN

 

Walau kau bungkam suara azan

Walau kau gusur rumah-rumah tuhan

Aku rumputan

Takkan berhenti sembahyang

: inna shalaati wa nusuki

  wa mahyaaya wa mamaati

 lillahi rabbil 'alamin

 

topan menyapu luas padang

tubuhku bergoyang-goyang

tapi tetap teguh dalam sembahyang

akarku yang mengurat di bumi

tak berhenti mengucap shalawat nabi

: allahumma shalli 'ala muhammad

  ya rabbi shalli 'alaihi wa sallim

 

sembahyangku sembahyang rumputan

sembahyang penyerahan jiwa dan badan

yang rindu berbaring di pangkuan tuhan

sembahyangku sembahyang rumputan

sembahyang penyerahan habis-habisan

 

Walau kau tebang aku

Akan tumbuh sebagai rumput baru

Walau kau bakar daun-daunku

Akan bersemi melebihi dulu

 

Aku rumputan

Kekasih tuhan

Di kota-kota disingkirkan

Alam memeliharaku

Subur di hutan-hutan

Aku rumputan

Tak pernah lupa sembahyang

: sesungguhnya shalatku dan ibadahku

  hidupku dan matiku hanyalah

  bagi Allah, tuhan sekalian alam

 

Pada kambing dan kerbau

daun-daun hijau kupersembahkan

pada tanah akar kupertahankan

agar tak kehilangan asal keberadaan

di bumi terendah aku berada

tapi zikirku menggema

menggetarkan jagat raya

: la ilaaha illallah

   muhammadar rasulullah

 

Aku rumputan

kekasih tuhan

seluruh gerakku

adalah sembahyang

 

Yogyakarta, 1992

 

 

Kekayaan sosial dan budaya kota Kaliwungu bukan hanya menyumbang inspirasi bagi proses kreatif saya dalam menulis puisi, tapi juga dalam menulis cerpen. Banyak cerpen saya yang disumbang pengalaman masa kecil saya di kota itu. Misalnya, “Lek War”, “Gendon”, dan sebagian cerpen saya dalam Sebelum Tertawa Dilarang (Balai Pustaka, 1996) disumbang oleh pengalaman masa kecil di kota yang inspiratif itu. Dan, sebuah novel inspiratif, Insya Allah, dalam waktu dekat akan menyusul.

Betapa banyak hutangku pada kota kelahiran saya itu, dan tentu hutang pada Tuhan, yang sulit dibayar. Hutangku pada bumi yang mengemban amanat Tuhan untuk menghidupi, hutangku pada matahari yang menerangi, hutangku pada laut yang memberiku ikan-ikan dan rasa asin, hutangku pada sungai yang membuat inspirasiku mengalir, hutangku pada oksigen yang membuatku bisa bernafas. Sungguh aku tak bisa membayar hutang-hutangku itu, selain menuliskannya dalam puisi.

                                                      ahmadun yosi herfanda



*AHMADUN YOSI HERFANDA adalah alumnus FPBS Univ. Negeri Yogyakarta (UNY – d.h. IKIP Yogyakarta). Pernah kuliah di Univ. Paramadina Mulya dan menyelesaikan Magister Komunikasi di Univ. Muhammadiyah Jakarta. Ia lahir di Kaliwungu Kendal, 17 Januari 1958. Penyair  ini adalah salah seorang penggagas forum Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) – forum penyair yang diadakan secara bergilir di negara-negara Asia Tenggara, dan salah seorang deklarator Hari Puisi Indonesia (HPI) yang dirayakan secara nasional tiap tanggal 26 Juli.

Ia adalah penulis puisi yang produktif, namun banyak juga menulis cerpen, esai, dan kritik sastra. Puisi dan cerpennya dipublikasikan di media sastra dalam dan luar negeri, antara lain Horison, Basis, Pusara, Suara Muhammadiyah, Ulumul Qur’an, Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos, Republika, Koran Tempo, Suara Pembaruan, dan Bahana (Brunei). Puisi-puisinya dimuat dalam antaologi puisi Secreets Need Words (Harry Aveling, ed, Ohio University, USA, 2001),  Waves of Wonder (Heather Leah Huddleston, ed, The International Library of Poetry, Maryland, USA, 2002), jurnal Indonesia and The Malay World  (London, Ingris, November 1998), The Poets’ Chant  (The Literary Section, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta, 1995),  Poetry and Sincerity (International Poetry Festival, DKJ, 2006), dan Dari Fansuri ke Handayani (Horison, 2001).

Ahmadun mulai menulis puisi dan cerpen sejak 1975, dan pertama kali dibukukan pada 1980 (Ladang Hijau, puisi). Cerpen dan puisi berjalan beriringan dan banyak mencatatkan prestasi di berbagai lomba penulisan. Kemudian menyusul menulis artikel dan esai, dan banyak pula membubuhkan prestasi. Antara lain, juara pertama esai diplomasi budaya yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan mendapat hadiah mesin ketik dari Menlu Mochtar Kusumaatmadja. Sejak menjadi redaktur sastra (1986-2009) ia telah menulis ratusan esai sastra pada kolom rubrik sastra yang dikelolanya. Sejak 2010, mantan redaktur sastra Harian Republika  ini mengajar creative writing pada Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Serpong. Ia sering menjadi pembicara dan pembaca puisi dalam berbagai forum sastra nasional dan internasional di dalam dan luar negeri. Antara lain, di Korea Selatan, Mesir, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, dan Singapura.

Ahmadun pernah menjadi ketua tetap Jakarta International Literary Festival (JILFest), anggota pengarah Pertemuan Penyair Nusantara (PPN), anggota dewan penasihat Nusantara Studies Centre Pattani University Thailand, ketua Lembaga Literasi Indonesia (Indonesia Literacy Institute), dan pemimpin redaksi portal sastra Litera (www.litera.co.id ).  Ia juga pernah menjadi ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ, 2009-2012), ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 2007-2012), ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia (HISKI, 1993-1996), ketua Komunitas Cerpen Indonesia (KCI, 2007-2012), dan anggota tim ahli Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) Kemendikbud RI (2014-2015) bidang sastra.

Buku kumpulan sajaknya yang telah terbit, antara lain Ladang Hijau (Eska Print, 1980), Sang Matahari  (Nusa Indah, Ende Flores, 1980), Sajak Penari (kumpulan puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, 1991), Sembahyang Rumputan  (Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996),  Fragmen-fragmen Kekalahan (Penerbit Angkasa, Bandung, 1996), Ciuman Pertama untuk Tuhan (puisi dwi-bahasa, Logung Pustaka, 2004 -- meraih Penghargaan Sastra Pusat Bahasa, 2008), Dari Negeri Daun Gugur (Pustaka Littera, 2015), Ketika Rumputan Bertemu Tuhan (Pustaka Littera, 2016) – buku ini terpilih sebagai buku unggulan (5 besar) dalam Anugerah Hari Puisi Indonesia 2016, Kasidah Seribu Purnama (Hyang Pustaka, Cirebon, 2022) – terpilih sebagai buku unggulan Anugerah Hari Puisi Indonesia 2023, Surat Cinta untuk Puan Sunyi (manuuskrib kumpulan puisi, 2023), dan Doa Tulang Rusuk (manuskrip kumpulan puisi, 2024).

Sedangkan buku kumpulan cerpennya yang telah terbit, antara lain Sebelum Tertawa Dilarang (Balai Pustaka, Jakarta, 1997), Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (Bening Publishing, 2004), Badai Laut Biru (Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004), Pertobatan Aryati (Penerbit Rebublika, Jakarta, 2024), dan manuskrip Berhala-Berhala yang Membunuh Subuh (2024). Dan, buku Kumpulan esai terbarunya, Komunitas sebagai Basis Ideologi Kesastraan (Teras Budaya, 2024) – memenangkan salah satu penghargaan sastra Badan Bahasa 2024, Dari Tema ke Kekuatan Cerita (Teras Budaya, 2024), dan Ketika Makna Menjerat Puitika (manuskrip buku kumpulan esai, 2024).

 Penghargaan sastra yang pernah diraihnya, antara lain Penghargaan Kincir Emas Radio Nederland 1989, Suara Merdeka Awards 1992, penghargaan Puisi Islam Terbaik MABIMS dari Brunei Darussalam 1997, Penghargaan Sastra Pusat Bahasa Kemendikbud RI 2008, Penghargaan Penyair Nusantara dari Universitas Pattani Thailand 2015, Penghargaan Sastra dari Pemerintah Kota Tangerang Selatan 2015, Penghargaan Buku Puisi Terbaik Yayasan Hari Puisi 2016, Penghargaan Buku Puisi Terbaik Yayasan Hari Puisi 2023, dan tahun 2024 mendapatkan Penghargaan Sastra 40 Tahun Berkarya dari Badan Bahasa Kemendikbudristek RI. 

Komentar